Dogiyaipos.com, – Allah menurut kekistenan adalah Wujud muliah raya mahakekal yang menciptakan dan memelihara segala sesuatu. Umat kristiani percaya bahwa Allah itu transenden (Sepenuhnya terlepas dan terpisah dan jagat bedawi) sekaligusimanen melibatkan diri dalam jagat bedawi.
Menurut kitab suci kristen Allah dikenal dari tindahkan Allah sebagai pencipta penyelamat dalam Yesus kristus, dan memperbaharu dalam Roh kudus.
Allah menurut latin Mee (Ugatamee) kata Ugatamee dalam artian bahwa yang menciptakan langit dan bumi serta isinya. Suku mee memiliki pandangan tersendiri tetang Tuhan. Sebutan nama Tuhan dalam suku Mee ialah “Awe Pitoo Mee”. Awee” belarti “Terang”, “Pitoo”, belarti “Cahaya” dan “Mee” belarti “ Manusia”. Pengertian umum tentang Tuhan dalam suku Mee adalah manusia yang memiliki terang, dan cahaya. Artian mengenai Tuhan dalam bahasa mee bukan mengukapkan identitas kemanusiannya, namun mengukapkan keilahiaanya. Kealihannya dapat di terungkap dengan pemahaman orang mee mengenai Tuhan yakni manusia yang tidak merwujud. Manusiayang terbungkus dari dengan terang dan cahaya. Oleh karena itu tubuhnya tidak dapat terlihat. Manusia hanya dapat melihat terang dan cahaya yang di keluar dari tubuhnya.
Izinkan penulis untuk mengutip tulisan dari kanda Antonius Tebai Mahasiswa STFT Fajar Timur sebagai esensi refrensi eksistensi Mee.
Agama suku Mee mengenal konsep penciptaan, segala yang ada merupakan karya dari Awee Pitoo Mee keboo mee kemugamaketa mee” Epaa langit” makii”, Tanah” Uwoo “air, Pihaa “Pohon” Iboo Besar Kebo Gunug dan lembah”, Mee manusia Kemugamaketa Mee “Seorang pengukir”. Dengan demikian, orang mee meyakini bahwa langit, bumi, pohon atau tumbuhan, air, bukit, lembah dan manusia merupakan karya seni ukiran dari tangan Tuhan. kata mengukir memiliki makna yang luas.
Orang mee meyakini bahwa langit dan bumi, pohon atau tumbuh-tumbuhan, air, bukit, lembah Manusia merupakan karya seni ukiran dari rangan tuhan. kata sangat luar maknanya orang mee meyakini semua orang termasuk yang ada merupakan Tuhan sendiri dengan cara mengukir, seperti seorang mengukir patung manusia dalam bentuk ukiran yang terlihat sesuai tangan tangan karya sendirisesuai dengan apa yang diimajinasikan dalam ide gagasannya.
Suku Mee melihat manusia sebagai makhluk yang berbeda dari ciptaan lain. Manusia memiliki “dimi kegepa”. Manusia mempunyai akal budi. Oleh karena itu, orang Mee dalam filosofisnya menyebut “dimi akauwai” yang berarti akal budi sebagai kaka atau yang tertua dalam dirinya. Oleh karena itu, setiap perilaku, cara berbicara, dan mengambil keputusan harus mendengarkan keputusan yang lahir dari akal budi bukan berdasarkan rasionalisasi. Akan tetapi, manusia Mee melihat dirinya sebagai manusia yang lemah. Ada suatu wujud yang melampaui kekuatanya. Wujud tersebut ialah Ewe Pito Mee.
Manusia perlu mendekati Awee Pitoo Mee. Selagi jiwa belum terpisah dengan tubuh, manusia harus hidup sesuai dengan ajaran-ajaran dari Ewe Pito Mee. Melalui itu, manusia dapat sampai kepada Awe Pito Mee. Keterpisahan dari dunia ini melalui kematian tidak berarti terputusnya hubungan antara manusia mee. Orang Mee meyakini bahwa orang meninggal masih memiliki hubungan dengan keluarganya. Mereka dapat saling bertemu dalam dunia mimpi maupun khayalan dan juga melakukan kontak fisik langsung.
Relevansi Agama Suku Mee Secara Antropologis Dan Sosilogis Menurut Pandangan Clifford Geertz Dan Robert Bellah Secara antropologis terdapat kaitan agama suku Mee dengan pandangan Clifford Geertz.
Secara emosionalnya orang Mee dilarang untuk menyebut nama Tuhan “Awe Pito Mee” secara sembarangan dan di sembarang tempat, kecuali dalam ritual-ritual agama. Misanya, Seorang Mee sebelum membuka kebun akan mengungkapkan kata-kata ritual keagaman sebagai bentuk meminta izin terhadap Ewe Pito Mee yang menciptahkan segalanya. Kata-kata yang sering dipakai ialah, “piha kemugaitata Mee, Ewe Pito Mee ani bugi epa taine kou makida makae” artinya Tuhan saya hendak membuka lahan baru sebagai kebun kehidupan, beri aku lahan ini untuk mengelolah dan hasil panenan yang memuaskan”.
Aspek sosiologis sangat relevan dengaan agama suku Mee jika direlevansikan dengan gagasan menurut Bellah. Aspek sosiologi dalam ritual orang Mee aka terlihat ketika pemberian nama anak. Orang tua dan kerabatnya akan menghadiri ritual pemberian nama anak yang baru lahir. Saat memberi nama adat terhadap anak, didalam ritual adanya doa syukur atas pemebrian anak dari Tuhan atau Ewe Pito Mee. Sekaligus perlindungan dalam perjalanan pertumbuhan hidupnya. Disana mereka akan menyebut nama dari Tuhan itu dalam ritualnya. Agama suku Mee saangat erat kaitan dengan agama Melanesia. Karena manusia Orang Mee mempunyai keyakinan akanadanya Tuhan, adanya ritual, simbul-simbol dan hubunngan atau relasinya dengan nenek moyang yang telah meninggal. (https://www.suarafajartimur.com/arsip/3281#:~:text=Tuhan%2C%20Penciptaan%20Dan%20Manusia%20Dalam%20Suku%20Mee. Tebai: 2022)
a. Pandangan teologi tentang Allah pencipta
Dalam Perjanjian Lama, pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Dan selanjutnya dijelaskan pada Kejadian 1 dan 2, penciptaan langit dan bumi disampaikan secara tematis. Cerita tentang penciptaan langit dan bumi dalam Kejadian 1 berasal dari sumber Codex yang telah ada pada permulaan pembuangan bangsa Israel ke Babel. Cerita tentang penciptaan langit dan bumi dalam Kejadian 2 diduga diambil dari sumber Yahwist yang berasal dari zaman raja-raja. Perbedaan di antara kedua nas ini terlihat dari sifat kesaksian masing-masing yang berbeda. Oleh karena itu, kedua kesaksian itu perlu dipahami dalam “keberlainannya”.
Allah adalah hal yang melampaui segala sesuatu dan segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia, tidak ada sesuatu yang telah jadi dari segala sesuatu yang telah diajdikan. Allah berada di luar dan di atas ciptaan-Nya. Allah tetap bekerja sampai sekarang. Allah menciptakan dunia selama enam hari secara teratur dan mengambil hari ketujuh untuk beristirahat. Dalam waktu enam hari Allah mengatur segala sesuatu yang dicipta-Nya.
Pada tiga hari pertama, Allah menciptakan sebuah rancangan dasar kosmos: pertama langit, air, dan kemudian lahan kering.Pada hari keempat, kelima, dan keenam, Allah menciptakan penduduk wilayah ini: pertama matahari dan bulan, kemudian ikan dan burung, dan akhirnya hewan dan manusia. Setelah Allah selesai menciptakan semua itu, Allah menilai bahwa semua itu baik. Allah menciptakan semua itu melalui Firman-Nya. Allah menyatakan kuasa-Nya dengan memisahkan cahaya dari kegelapan, serta langit dari bumi. beberapa orang menekankan kesetiaan dari metode Allah secara logis dengan pengulangan dari tujuh langkah secara teratur yang menggambarkan proses itu dengan menggunakan beberapa kata:
1. “Tuhan berkata”
2. “Jadilah”
3. “dan jadi”
4. yang khusus karya penciptaan
5. penamaan Tuhan atau berkat dari makhluk tersebut
6. Tuhan mengatakan bahwa semuanya itu baik, dan
7. “Jadilah petang dan pagi”.
Allah menciptakan segala sesuatu di dunia selalu menggunakan pola dengan tujuh langkah yang telah disebutkan di atas. Kejadian 1:9 Berfirmanlah Allah: “Hendaklah segala air yang di bawah langit berkumpul pada satu tempat, sehingga kelihatan yang kering. Dan semuanya itu baik. Makhluk hidup menerima berkat Tuhan. Umat manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dan diberi kuasa atas seluruh ciptaan. Tidak ada permasalahan yang terjadi di antara makhluk. Semua manusia memiliki tempat dalam dunia, di mana dunia telah dirancang untuk manusia dan ciptaan lain. Kemudian, bumi itu menjadi tempat manusia hidup. Manusia adalah makhluk bumi, sebab manusia terbentuk dari ‘debu tanah’ (bahasa Ibraninya, Adamah). Manusia yang dibentuk oleh Allah menjadi makhluk hidup ketika Allah menghembuskan napas hidup kepadanya (Kejadian 2:7). Siapa yang datang dari atas adalah di atas semuanya; siapa yang berasal dari bumi, termasuk pada bumi dan berkata-kata dalam bahasa bumi. Siapa yang datang dari sorga adalah di atas semuanya (Yohanes 3:31).
Manusia ditempatkan dalam taman Eden dengan suatu tanggung jawab. Dalam taman Eden terdapat pohon pengetahuan yang baik dan buruk.[2] Pohon ini merupakan pohon pengetahuan segala sesuatu yang tidak terbatas. Setiap orang yang makan buah dari pohon itu, maka ia akan mengetahui segala sesuatu. Manusia ingin mengetahui segala sesuatu yang tidak terbatas. Apabila hal itu terjadi, maka manusia telah melanggar hak yang hanya menjadi milik Allah yaitu kekekalan. Namun, pada akhirnya manusia tergoda oleh pencobaan dan semua menjadi kacau. Manusia menjadi makhluk yang memberontak terhadap Sang Pencipta. Manusia tidak mampu menerima bahwa pengetahuannya terbatas dan dirinya bukan pusat atas alam semesta.
Kisah penciptaan dalam kitab Mazmur mengungkapkan tentang perjuangan Allah melawan ular naga dan samudera raya yang menjadi lambang dari kekacauan, kegelapan, dan kematian pada zaman purba. Mazmur 74:13-15 tertulis bahwa “Engkau yang membelah laut dengan kekuatan-Mu, yang memecahkan kepala ular-ular naga di atas muka air. Mazmur – mazmur mengekspresikan aspek yang essensial dari kepercayaan yang ditimbulkan oleh karya penciptaan Allah.
Pernyataan mengenai penciptaan langit dan bumi terdapat dalam “ajaran” dan penghayatan iman. Dalam mazmur karya penciptaan Allah diberitakan supaya umat dapat memuji dan merayakan kekuasaan-Nya. Hal itu biasanya terjadi dalam ibadah, sebab mazmur-mazmur biasa dibacakan, dinyanyikan, dan didoakan dalam ibadah. Misalnya, Mamzur 33 menperlihatkan Allah yang meciptakan langit dan bumi melalui perkataan dan perbuatan-Nya (ayat 6), dipuji sebagai Allah yang setia (ayat 5), dan Allah dari sorga memperlihatkan “semua anak manusia” (ayat 11) dan “mereka yang takut akan Dia” (ayat 18). Kitab Mazmur juga mengungkapkan perbuatan-perbuatan Allah yang besar dalam sejarah Israel. Cerita penciptaan dan sejarah keselamatan disampaikan secara berdampingan sebagai karya yang mengagumkan dari Yahwe, Allah Israel.
Alkitab mengungkapkan bahwa di atas bumi ada air yang menjadi tempat kediaman Allah.[3] Air itu mendukung Sorga (Mazmur 78:23).[3] Gambaran Israel mengenai bumi yaitu bumi terapung-apung di atas air samudera yang raksasa.[3] Bumi diibaratkan sebagai kapal selam yang besar.[3] Langit diibaratkan sebagai tutup kubah yang memisahkan bumi dari air.[3] Sekalipun bumi berada di dalam lautan besar, tetapi bumi kokoh, sebab Allah telah memberikan dasar alasnya.
Hal yang menjadi penekanan dalam kitab ini ialah Ayub dalam keluhannya yang panjang dan terperinci meminta pertanggungjawaban kepada Allah terhadap “mala petaka” yang menimpanya. Allah menjawab keluhan Ayub bukan dalam bentuk pertangungjawaban, melainkan dalam bentuk pernyataan hikmat melalui pertanyaan yang tidak perlu dijawab oleh Ayub sendiri. Allah tidak perlu memberikan pertangungjawaban kepada siapa pun juga terhadap pimpinan dan pemerintahan-Nya. Dalam Ayub 38:4 tertulis “di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengetahuan! Ayub bertanya “Siapakah yang telah menetapkan ukurannya? ”.Maksud Ayub menyebutkan mujizat penciptaan Allah ialah supaya mujizat penciptaan-Nya dapat berfungsi sebagai saksi-saksi-Nya, sedangkan mujizat penciptaan-Nya sebagai saksi.
Dalam “Ayub 28” merupakan surat “syair pengajaran“ yang berdiri sendiri dan yang baru kemudian, karena sebab-sebab yang tidak diketahui. Secara formal “puji-pujian akan hikmat” muncul sesudah berlangsung suatu diskusi yang hebat antara Ayub dan sahabatnya (Elifas, Bildad, dan Zofar). Mereka mempersalahkan Ayub dan berkata bahwa “malapetaka” yang menimpa Ayub merupakan hukuman dari Allah atas dosa-dosanya. Dalam diskusi itu memperlihatkan pengetahuan manusia sangat terbatas. Di sini Ayub benar-benar dicobai untuk meninggalkan Allah yang menciptakan hikmat dan akal budi.
Allah menjawab permintaan pertanggungjawaban dari Ayub melalui pernyataan hikmat. Hikmat di sini memberi tanda adanya rahasia penciptaan yaitu tatanan yang pada satu pihak terdapat dalam penciptaan, tetapi pada pihak lain terlepas dari penciptaan dan berfungsi sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tersembunyi bagi manusia dan hanya Allah yang mengetahuinya. Ayat terakhir dalam Ayub 28 menjelaskan makna hikmat. Hikmat berarti takut dan hormat akan Allah . Pengetahuan yang benar ialah menjauhi kejahatan dan segala ketidakbenaran. Pengetahuan yang dimaksud di sini ialah akal budi.
Penulis : Yohanes W. Petege, Alummi Uncen Jayapura.