Hari ini, Senin, 24 Maret 2025, di pusaran kesakralan tanah Dogiyai, ketika matahari pagi mulai mengusir “kabut” yang menyelimuti lembah dan perbukitan, masyarakat dari berbagai kampung berkumpul dalam satu hati. Mereka datang bukan karena undangan formal, melainkan karena panggilan jiwa—panggilan untuk bersyukur atas berkat yang telah Tuhan limpahkan kepada Dogiyai.
Di atas tanah yang telah menyaksikan banyak cerita hitam dan putih, mereka berdiri dalam kebersamaan, memanjatkan doa syukur atas pemimpin sejati yang telah dipilih oleh suara rakyat dan kehendak Ilahi. Bapak Yudas Tebai dan Yuliten Anou, yang kini diamanahkan untuk memimpin, serta 31 orang bijak dalam dewan rakyat, adalah bagian dari rencana besar yang telah ditetapkan Pencipta dari awal zaman.
Seorang tetua yang dihormati, dengan tongkat kayunya yang telah menapaki banyak musim dan babak, berdiri di tengah dan berkata, “Hari ini bukan sekadar perayaan manusia, hidup dan karya, tetapi peringatan bahwa di balik semua peristiwa itu, ada kekuasaan ilahi yang berasal dari Allah. Kekuasaan Allah yang melintasi di luar kemampuan semua ciptaan alam semesta. Dia mengasihi kita termasuk kepada mereka yang menganggap dirinya lebih hebat dari segalanya yang lain. Dari kadar kekuasaan Allah yang tak terselami seperti ini, kita disadarkan bahwa ternyata seorang pemimpin atau siapapun kita bukan raja, melainkan pelayan. Ia tidak berdiri di atas rakyatnya, tetapi berjalan di antara mereka.”
Dogiyai yang Bangkit dari Rekonsiliasi
Tak lama sebelum fajar syukur ini menyingsing, Dogiyai telah menapaki jalan rekonsiliasi dan puasa. Pada 12–13 Desember 2024, tanah ini telah disucikan dalam Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR), di mana umat beriman dari berbagai penjuru berkumpul dalam satu litani doa dan puasa untuk terwujudnya perdamaian abadi di Meeuwo.
Di bawah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan dengan dukungan Pemerintah Daerah, para pemimpin rohani dari Kristen, Katolik, dan denominasi lainnya datang membawa pesan yang sama: Dogiyai harus dipersatukan dalam damai dan kasih Tuhan.
Di bawah aneka sinar matahari pagi, dalam suasana gunung-gunung yang merendah damai, aliran sungai-sungai Meeuwo yang memberi kita kehidupan sejati dan ke dalam ikatan roh koteka-mogee, Pastor Jhon Bunai, Pr, berdiri di mimbar suci dan menyampaikan khotbah yang menggetarkan hati dan jiwa semua ciptaan. Ia berkata, “Hanya jika kita kembali pada pertobatan total, percaya kepada Allah dan kembali Hidup dari firman Tuhan, kita akan menemukan jalan yang benar. Hanya jika kita hidup dalam doa dan damai, kita akan melihat cahaya di tengah kegelapan.”
Di antara mereka yang hadir, ada Pdt. Obet Magai, Pastor Rufinus Madai Pr, Pater Beny Magai Pr dan Pdt.Johanes You, yang dengan suara tegas menyerukan kerukunan dan kerja sama. Masyarakat Dogiyai, yang pernah mengalami masa sulit, kembali menemukan kekuatan dalam doa dan persaudaraan.
“Itu kita wujudkan hari ini dengan mendoakan dan memberikan kekuatan rohani kepada sejumlah warga yang hampir punah marganya. Marga-marga itu antara lain, Dekepa, Pegei dan Uwiya. Anak-anak Allah yang diterima sebagai keturunan Abraham dan Daud itu langsung menerima berkat kekuatan Allah dan buah-buah perdamaian setelah dipanggil, disatukan, dikumpulkan di hadapan Allah dan didoakan bersama oleh para hamba Tuhan dari Ekaristi Suci,” kisahnya.
Dari Doa ke Tindakan: Syukur yang Menjadi Nyata
Hari ini, semangat rekonsiliasi itu tidak hanya dikenang, tetapi juga diwujudkan dalam kepemimpinan baru. Bapak Yudas Tebai bukan hanya pemimpin hasil pemilihan rakyat, tetapi juga bagian dari jawaban doa-doa kaum lemah yang telah dinaikkan dalam KKR.
“Kami tidak terpilih untuk diagungkan, tetapi untuk melayani,” ucapnya di hadapan rakyatnya. “Kami akan membangun Dogiyai bukan hanya dengan kebijakan, tetapi dengan hati yang berakar pada kasih, iman dan damai.”
Perkataan ini mengingatkan pada apa yang disampaikan oleh PJ Bupati Marten Ukago pada Desember lalu, saat ia menetapkan 13 Desember sebagai Hari Rekonsiliasi dan Kebaktian Kebangunan Rohani. Ia mengatakan, “Kita tidak bisa membangun Dogiyai jika hati kita masih terpecah. Mulai hari ini, kita harus berjalan bersama.”
Kini, kata-kata itu menjadi nyata. Perayaan syukur ini bukan sekadar ucapan, tetapi tanda bahwa Dogiyai telah memasuki era baru—era persatuan, kemandirian dan kemajuan dalam damai.
Kesakralan yang Harus Dijaga
Sebagaimana metafisika klasik mengajarkan bahwa ada tatanan ilahi yang mengatur segala sesuatu, begitu pula Dogiyai harus dijaga dalam kesakralan dan keteraturan yang berasal dari Tuhan. Kepemimpinan bukanlah soal kekuasaan duniawi, tetapi soal keselarasan dengan kehendak Ilahi.
Pdt.Johanes You, dalam KKR yang lalu, berkata, “Rekonsiliasi harus diwariskan dari generasi ke generasi. Kita tidak boleh saling menyalahkan, tetapi harus saling menguatkan.”
Hari ini, Dogiyai membuktikan bahwa rekonsiliasi yang sejati tidak berhenti pada pewartaan Sabda Tuhan, doa, puasa dan lagu-lagu pujian, tetapi berlanjut dalam tindakan nyata. Dengan pemimpin yang baru, dengan hati yang dipersatukan, Dogiyai tidak hanya merayakan kemenangan politik, tetapi juga kemenangan iman dan persaudaraan sejati.
Ketika doa syukur berakhir, masyarakat berbagi makanan dalam kebersamaan. Ini bukan sekadar ritual sosial, tetapi wujud nyata dari perjanjian baru antara rakyat, pemimpin, dan Tuhan.
Langit Dogiyai tetap membiru, sungai tetap mengalir, dan angin tetap berhembus. Seakan mengingatkan bahwa sejarah iman, harapan dan kasih Allah itu akan terus berjalan, tetapi hanya mereka yang hidup dalam kasih dan kebenaran yang akan merumuskan babak terbaiknya dari tungku api keluarga Nazareth.