Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan program strategis nasional (PSN) dari pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk menyediakan makanan sehat dan bergizi kepada kelompok yang membutuhkan, dengan fokus pada anak-anak atau kelompok rentan lainnya. Program ini digulirkan mulai Januari 2025.
Makanan yang disediakan mengikuti standar gizi yang ditetapkan: kebutuhan akan protein, vitamin, mineral, dan energi yang mencukupi. Program MBG Indonesia ditujukan untuk pelajar di sekolah-sekolah. Program yang diinisiasi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ini merupakan langkah strategis dalam mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dengan memastikan pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat dengan baik dan berkualitas. Karena kualitas pangan dan gizi merupakan kunci utama dalam menciptakan sumber daya manusia yang unggul.
Program MBG juga sejalan dengan visi Indonesia 2045 yang menargetkan terciptanya generasi emas atau generasi yang mampu membawa Indonesia menjadi negara maju. Berdasarkan riset, Indonesia diproyeksikan akan memiliki populasi muda yang besar pada tahun 2045 dan program ini dapat menjadi pilar penting dalam mendukung generasi muda yang sehat, produktif, dan siap bersaing di masa depan.
Program MGB ini di banyak tempat terlihat menampilkan keterlibatan aktif apparat, entah polisi maupun TNI.
Namun, Program MBG ini ditolak di Papua. Kira-kira, apa alasannya? Mengapa ditolak?
Berikut kami rangkumkan beberapa alasan yang mengemuka dari sederet protes, demonstrasi damai, penolakan, yang tersebar di berbagai media massa, di dalam artikel opini, di media-media sosial dan dari mulut ke mulut. Semua dapat kami rangkum dalam beberapa kata kunci sebagai berikut.
Mengapa Ditolak? (1) Trauma dan Ingatan Penderitaan
Papua memiliki sejarah panjang ketegangan antara pemerintah pusat dengan masyarakat asli Papua, terutama dalam proses konflik ideologi politik Papua Merdeka vs NKRI harga mati di Papua. Ketegangan ini melahirkan banyak pelanggaran HAM yang belum dituntaskan. Banyak masyarakat masih menyimpan ingatan kolektif tentang operasi militer, penangkapan, hingga tindakan represif di wilayah mereka yang notabene dilakukan apparat TNI dan Polri. Program MBG yang menampilkan apparat, justru menimbulkan rata takut, curiga, trauma lama yang dibangkitkan kembali.
Mengapa Ditolak? (2) Ketidakpercayaan Terhadap Negara
Banyak masyarakat Papua merasa bahwa kebijakan pemerintah sering tidak berpihak kepada mereka. Masyarakat Papua merasa, mereka hanya dijadikan objek pembangunan. Program MBG dianggap dijalankan sebagai formalitas belaka tanpa benar-benar memperhatikan kebutuhan lokal, seperti pendidikan yang makin mahal (Sehingga memunculkan jargon #pendidikan_gratis). Program MBG dipandang sebagai alat kontrol sosial atau alat kontrol politik, bukan sekadar upaya kemanusiaan di Papua. Apalagi, selama ini, wajah negara di Papua adalah apparat TNI Polri yang identic dengan pembunuhan, penembakan, operasi militer, pelanggaran HAM.
Mengapa Ditolak? (3) Kurangnya Keterlibatan Masyarakat Lokal
Jika program ini didesain secara top-down dari pusat ke daerah, itu dianggap kebijakan sepihak tanpa melibatkan masyarakat adat, gereja, pemimpin lokal di Papua. Masyarakat bisa merasa, program MBG bukan untuk mereka, melainkan semacam agenda terselubung pemerintah pusat yang merugikan masyarakat asli Papua. Maka perlu komunikasi yang baik, dan pelibatan aspek-aspek lokal.
Mengapa Ditolak? (4) Perbedaan Budaya dan Identitas
Papua memiliki budaya makan dan system sosial yang berbeda. Jika makanan yang disediakan tidak sesuai dengan makanan lokal atau program ini menggantikan system pangan tradisional; atau ada tendensi dan kecenderungan ke arah ini; apalagi tanpa melibatkan atau mengutamakan pangan lokal sebagai menu MBG, maka bisa jadi akan menuai penolakan. Ada dugaan penjajahan pangan yang bisa tercium disini.
Mengapa Ditolak? (5) Dampak Psikologis Akibat Militerisme dan Pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Papua meninggalkan luka psikologis yang kolektif, tersembunyi, yang belum dituntaskan, massif tumbuh dan meluap dalam bentuk ungkapan, ekspresi, bahkan ke panggung budaya melalui Mop dan karya sastra yang kaya satire. Dampak-dampak psikologis tersebut antara lain:
- Ketakutan dan trauma kolektif yang menimbulkan kecemasan, ketakutan, dan mengakibatkan memandang seluruh program pembangunan dari negara dari kacamata negatif.
- Ketidakpercayaan terhadap bantuan pemerintah. Jika selama ini masyarakat melihat pemerintah lebih banyak mengabaikan atau mengeksploitasi mereka, maka bantuan seperti MBG akan bisa dianggap sebagai strategi untuk mendapatkan kontrol atas OAP saja.
- Rasa tidak berdaya dan ketergantungan. Jika program ini dilakukan tanpa memberdayakan masyarakat lokal, maka bisa muncul rasa bahwa meraka hanya menjadi penerima pasig tanpa kendali atas kehidupan mereka sendiri.
Solusi
Satu: Libatkan Pemimpin Lokal di Papua dan Gereja
Biarkan para pengelola sekolah, tokoh adat setempat, pemimpin dan organisasi gereja, dan komunitas lokal yang mengelola program ini, tapi jangan apparat negara (TNI/Polri). Pastikan masyarakat sendiri yang mendistribusikan makanan, dan jangan ada campurtangan militer di dalamnya.
Dua: Gunakan Pangan Lokal dan Pendekatan Budaya
Gunakan makanan khas Papua yang bergizi dan jangan memaksakan makanan yang belum bisa dihasilkan di daerah tersebut (Bergantung dari ekspor barang tersebut). Sehingga dengan demikian juga menambah pendapatan masyarakat setempat.Kombinasikan dengan membangunan peternakan, pertanian, dan sarana prasana pendukung lainnya melalui komunitas masyarakat lokalnya.
Tiga: Alihkan ke Pemberdayaan Ekonomi Lokal
Program ini sebaiknya menjadi pemicu tumbuh dan mulai diberdayakannya kekuatan ekonomi lokal Papua. Organisasi-organisasi pendidikan, adat, agama, masyarakat, didorong untuk bertani, beternak, berwirausaha, antara lain melalui pelaksanaan program ini. Pemerintah diminta turut ambil andil dalam proses pemberdayaan ekonomi lokal.
Empat: Kedepankan Transparansi dan Komunikasi Baik
Perlu penjelasan yang transparan dari pemerintah mengenai program ini dan memastikan bahwa tidak ada agenda tersembunyi di dalam MBG. Pemerintah di daerah diharapkan dapat membuat semacam mekanisme di mana masyarakat bisa memberikan masukan dan ikut serta dalam perencanaan program.
Lima: Fokus pada Pendidikan dan Kesehatan Jangka Panjang
Bila masyarakat tetap menolak program MBG, maka pemerintah bisa memikirkan alternatif lain. Misal, mengalihkan dana untuk program ini ke beasiswa pangan, pembangunan dapur umum bergizi berbasis komunitas basis, pelatihan dan edukasi gizi berbasis makanan lokal. (BT/Ist)