Bomomani, DogiyaiPos – Bagi masyarakat Mee, Tuhan Yesus bukan hanya Juru Selamat bagi orang minoritas dan lemah, tetapi juga Nauwaibo (Kakak) bagi kita. Dialah Kakak yang membimbing, melindungi, dan menuntun adik-adiknya menuju kehidupan yang lebih bermakna. Konsep ini tidak hanya menjadi ekspresi iman, tetapi juga membentuk kesadaran kolektif tentang tanggung jawab sosial, khususnya dalam dunia pendidikan. Gagasan ini mengemuka dalam dialog pendidikan nilai yang berlangsung di Bomomani siang tadi, di mana para tokoh adat merefleksikan bagaimana iman dapat menjadi kekuatan transformatif bagi masa depan generasi muda Mee.
Dalam tradisi Mee, seorang Nauwaibo memiliki kewajiban moral untuk memastikan adik-adiknya tumbuh dengan baik, menerima bimbingan, dan siap menghadapi tantangan hidup. Menurut Zoleman Goo, seorang teolog lokal dan dosen adat menegaskan bahwa konsep ini memiliki korelasi erat dengan ajaran Kristiani.
“Yesus sebagai Nauwaibo tidak hanya berarti Dia dekat dengan kita secara spiritual, tetapi juga menjadi teladan konkret tentang kepemimpinan yang melayani. Dalam budaya Mee, kakak bukan sekadar sosok yang lebih tua, tetapi ia bertanggung jawab atas masa depan adik-adiknya. Ini selaras dengan peran Yesus dalam membimbing umat manusia menuju kehidupan yang berdaya dan bermartabat,” jelasnya ketika awak DogiyaiPos berdialog dengan sejumlah tokoh di rumah adat Bomomani pada Senin, 24/05.
Pendidikan sebagai Manifestasi Iman dan Kemandirian
Kesadaran akan Yesus sebagai Nauwaibo melahirkan pemahaman baru bahwa pendidikan bukan hanya kebutuhan duniawi, tetapi juga bagian dari panggilan iman. Menurut Tokoh Adat Mee di Dogiyai, Kadagee Donei melihat bahwa pemaknaan ini dapat menjadi pendorong bagi masyarakat Mee untuk lebih serius dalam membangun pendidikan yang berkualitas.
“Dalam pemikiran Mee, jika Yesus adalah Kakak yang menginginkan kebaikan bagi adik-adiknya, maka menuntut ilmu adalah tanggung jawab moral dan spiritual. Pendidikan bukan hanya tentang memperoleh gelar, tetapi juga tentang membangun kehidupan yang lebih bermakna, baik bagi diri sendiri maupun bagi komunitas,” ungkap Donei
Namun, pendidikan di Dogiyai masih menghadapi tantangan struktural yang serius. Minimnya tenaga pengajar, keterbatasan infrastruktur, dan akses yang sulit menjadi hambatan bagi perkembangan intelektual generasi muda. Kendati demikian, Denei menegaskan bahwa konsep Nauwaibo dapat menjadi kekuatan transformatif bagi masyarakat Mee.
“Ketika kita memahami pendidikan sebagai bagian dari warisan Nauwaibo, maka kita tidak bisa menyerah pada keadaan. Sebaliknya, kita harus mengambil peran aktif dalam membangun sistem pendidikan yang lebih baik. Orang tua harus melihat pendidikan sebagai investasi iman, guru harus menjadi mentor yang mendidik dengan kasih, dan siswa harus memahami bahwa belajar adalah bagian dari perjalanan spiritual,” tambahnya.
Kesadaran Kolektif sebagai Pilar Transformasi
Pendidikan di Dogiyai bukan sekadar tanggung jawab individu, tetapi juga sebuah agenda kolektif yang menuntut keterlibatan seluruh elemen masyarakat. Semangat Nauwaibo dapat menjadi basis filosofis bagi kebangkitan intelektual dan sosial masyarakat Mee. Jika Yesus adalah Kakak yang membimbing, maka setiap generasi harus menjadi kakak bagi yang berikutnya—menjamin bahwa ilmu, nilai, dan kebijaksanaan diwariskan secara berkelanjutan.
Masyarakat Mee semakin menyadari bahwa pendidikan bukan sekadar alat untuk mobilitas sosial, tetapi merupakan instrumen transformatif yang memungkinkan mereka mendefinisikan kembali masa depan mereka. Dengan memaknai Yesus sebagai Nauwaibo, pendidikan tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai panggilan Allah untuk membangun peradaban yang berakar pada iman, ilmu, dan solidaritas sosial.