DogiyaiPos, Moanemani– Kutukan sumber daya alam (resource curse) adalah teori dalam ekonomi dan ilmu politik yang menyatakan bahwa negara-negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah justru cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, korupsi yang tinggi, konflik sosial, dan pemerintahan yang lemah dibandingkan negara dengan sumber daya yang lebih sedikit.
Ada beberapa dasar teori yang menjelaskan dan menjadi landasan dari keberadaan teori ini. Dihimpun DogiyaiPos, berikut kami sajikan beberapa teori tersebut.
Satu: Dutch Disease (Penyakit Belanda)
Konsep ini berasal dari pengalaman Belanda pada 1960-an setelah menemukan cadangan gas alam besar di Laut Utara. Corden, W. M., & Neary, J. P. (1982) dalam artikelnya berjudul Booming Sector and De-Industrialization in a Small Open Economy yang dimuat di The Economic Journal, menjelaskan hal ini. Masuknya pendapatan besar dari ekspor sumber daya menyebabkan apresiasi nilai tukar mata uang, sehingga sektor manufaktur dan pertanian menjadi kurang kompetitif dan dianggap tidak menjanjikan disbanding sektor yang sifatnya mengeksploitasi sumber daya alam. Negara yang mengalami “Dutch Disease” sering kali bergantung pada ekspor sumber daya alam, sehingga ekonomi mereka menjadi tidak siap bilamana saatnya sumber daya yang tersedia habis. Hal ini pada akhirnya akan membawa kesengsaraan bagi masyarakat setempat atau masyarakat asli yang tinggal di wilayah dimana SDAnya dikeruk dan dieksploitasi.
Dua: Hipotesis Rentier State (Negara Penyewa)
Diperkenalkan oleh Hussein Mahdavy dalam artikel berjudul The Patterns and Problems of Economic Development in Rentier States: The Case of Iran. Dalam Cook, M. A. dalam jurnal Studies in the Economic History of the Middle East yang diterbitkan Oxford University Press tahun 1970. Teori ini menjelaskan bahwa negara yang bergantung pada pendapatan dari sumber daya (seperti minyak dan gas) cenderung memiliki pemerintahan yang tidak akuntabel.
Mahdavy menjelaskan konsep negara penyewa, di mana negara yang mendapatkan pendapatan besar dari sumber daya alam cenderung memiliki pemerintahan yang otoriter dan kurang akuntabel. Ross (2001) menunjukkan bahwa negara-negara kaya minyak cenderung memiliki sistem politik yang kurang demokratis.
Tiga: Paradox of Plenty (Paradoks Kelimpahan)
Asumsi ini dikemukakan Karl T.L tahun 1997 melalui artikelnya, The Paradox of Plenty: Oil Booms and Petro-States yang diterbitkan University of California Press. Teori ini menunjukkan bahwa negara-negara kaya sumber daya sering kali memiliki tingkat korupsi yang lebih tinggi, konflik sosial, serta institusi politik dan ekonomi yang lemah. Sumber daya alam dapat menjadi sumber konflik, terutama dalam sistem pemerintahan yang lemah, seperti yang terjadi di banyak negara Afrika dan Amerika Latin.
Apa yang diungkapkan Karl sebetulnya didasari oleh asumsi Auty, R. M (Melalui artikelnya, Sustaining Development in Mineral Economies: The Resource Curse Thesis yang diterbitkan tahun 1993). Beliau menjelaskan konsep kutukan sumber daya dan dampaknya pada pembangunan jangka panjang.
Empat: Institutional Weakness Theory (Kelemahan Institusional)
Teori ini diperkenalkan oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson (Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2012). Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty. Crown Business). Teori ini menyoroti bahwa negara yang kaya sumber daya cenderung memiliki institusi yang lemah karena elite politik dan ekonomi ingin mempertahankan kendali atas sumber daya tersebut. Akibatnya, negara lebih fokus pada ekstraksi dan distribusi rente daripada inovasi dan diversifikasi ekonomi.
Lima: Volatility of Commodity Prices (Volatilitas Harga Komoditas)
Sumber teori ini adalah apa yang dikemukakan oleh Humphreys, M., Sachs, J. D., dan Stiglitz, J. E. di tahun 2007 dalam Escaping the Resource Curse yang diterbitkan oleh Columbia University Press. Mereka mengemukakan, harga sumber daya alam cenderung fluktuatif, sehingga negara yang sangat bergantung pada ekspor komoditas rentan terhadap krisis ekonomi ketika harga anjlok. Mereka menyimpulkan, negara-negara seperti Venezuela dan Nigeria sering mengalami krisis ekonomi akibat ketergantungan pada harga minyak global. Contoh negara yang mengalami Kutukan SDA, menurut mereka adalah (1) Nigeria: Kaya minyak, tetapi korupsi tinggi dan ekonomi tidak stabil; (2) Venezuela: Bergantung pada minyak, tetapi mengalami krisis ekonomi akibat salah urus sumber daya; dan (3) Republik Demokratik Kongo: Melimpah mineral, tetapi sering mengalami perang saudara dan ketidakstabilan politik.
Apakah Indonesia Mengalami Kutukan SDA?
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar, mulai dari minyak, gas, batu bara, hingga emas dan nikel. Namun, dalam banyak kasus, kekayaan ini tidak selalu membawa kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia secara luas. Beberapa manifestasi kutukan sumber daya di Indonesia mari kita tinjau berdasar pada beberapa teori yang telah dikemukakan di atas.
Dari teori Dutch Disease (Penyakit Belanda), ketergantungan pada ekspor komoditas seperti minyak, batu bara, dan sawit membuat sektor industri manufaktur dan pertanian kurang berkembang. Ketika harga komoditas turun, ekonomi Indonesia ikut terguncang, seperti yang terjadi saat harga minyak anjlok pada 2014-2015.
Dari teori Rentier State (Negara Penyewa) dan Korupsi: Pendapatan besar dari sumber daya membuat pemerintah daerah dan nasional cenderung mengandalkan royalti dan pajak dari sektor tambang, bukan dari sektor produktif lainnya. Kasus korupsi di sektor sumber daya alam sangat tinggi, seperti kasus korupsi dalam pengelolaan lahan sawit, pertambangan ilegal, dan ekspor nikel.
Dari teori Paradoks Kelimpahan dan Ketimpangan Ekonomi: Meskipun Indonesia kaya sumber daya, banyak daerah penghasil justru tetap miskin. Contohnya, lima Provinsi di Tanah Papua yang konsisten berbaris di peringkat paling akhir indeks prestasi manusia setiap tahun bila dibandingkan antar seluruh provinsi di Indonesia dari tahun ke tahun. Padahal, kita tahu, Papua tanah kaya raya.
Dari teori Konflik Sumber Daya dan Keamanan. Konflik sosial dan sengketa lahan sering terjadi di daerah kaya sumber daya, seperti Papua, Kalimantan dan Sumatra serta Maluku. Di Papua, konflik sering muncul karena eksploitasi sumber daya oleh perusahaan besar tanpa memberikan manfaat yang adil bagi masyarakat lokal.
Bagaimana dengan yang Terjadi di Papua?
Papua adalah wilayah terkaya sumber daya alamnya di Indonesia, tetapi tetap menjadi salah satu daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia dan indeks prestasi manusia terrendah di Indonesia. Berikut DogiyaiPos merangkum beberapa manifestasi yang bisa menjadi indikasi adanya kutukan sumber daya alam di Papua:
Satu: Ketimpangan Ekonomi yang Ekstrem. Papua memiliki cadangan emas terbesar di dunia di Tambang Grasberg (Freeport Indonesia), tetapi mayoritas masyarakat Papua tidak menikmati hasilnya. Pendapatan dari tambang lebih banyak mengalir ke Jakarta atau perusahaan asing daripada ke masyarakat lokal.
Dua: Eksploitasi oleh Elite dan Korupsi. Banyak pejabat daerah yang terlibat dalam korupsi dana otonomi khusus (Otsus), sehingga dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat malah dikorupsi.
Tiga: Konflik Sosial dan Kekerasan. Papua menjadi wilayah dengan ketegangan tinggi akibat eksploitasi sumber daya yang tidak adil. Gerakan pro-kemerdekaan Papua sering menganggap eksploitasi tambang sebagai bentuk penjajahan oleh pemerintah pusat dan bergerak melawan membebaskan diri dari apa yang dianggap menjajah itu. Keyakinan itu bertambah kuat saat banyak perusahaan dibangun di Papua, mengeksploitasi, mengeksplorasi, dan mereka dikawal, dijaga, dilindungi apparat keamanan negara, dan kerap justru merugikan masyarakat asli Papua yang memprotes, berakibat pelanggaran-pelanggaran HAM yang juga tak kunjung diselesaikan.
Empat: Kerusakan Lingkungan. Tambang emas, minyak, tembaga, nikel, pembabatan hutan, perusahaan kelapa sawit, dan kawan-kawan perusahaan lainnya itu di Papua menyebabkan deforestasi dan pencemaran lingkungan. Masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada hutan dan sungai terkena dampak paling besar, tetapi mereka tidak mendapat kompensasi yang memadai. Mereka bersuara, tetapi malah dianggap pemberontak dan dicap separatis, lalu dihadapkan dengan aparat.
Lalu, Apakah Ada Negara yang Berhasil Melawan Kutukan SDA?
Sebaliknya, ada juga negara yang berhasil menghindari kutukan ini. Bila kami boleh sebut, negara eperti Norwegia dan Botswana merupakan dua negara yang berhasil dengan menerapkan tata kelola sumber daya yang baik dan diversifikasi ekonomi.
Bagaimana strategi dua negara itu menyiasati bahaya kutukan SDA? Tunggu pembahasannya di episode selanjutnya ya. (BT/Admin)